Muh_Krisno_te07

Seorang pemuda yang berjalan ditengah padang pasir harapan Berjalan antara masa depan dan masa lalu Berjuang meraih impian, mengembalikan ilmu ke pangkuan ISLAM

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Djoyakarta,, DIY, Indonesia

Seorang pemuda yang berjalan menuju gerbang masa depan Mengarungi samudra kesulitan dan lautan kepenatan Dalam penantian mencari tulang rusuk yang selama hilang Mengarungi samudra kehidupan menuju titik tunggu tak henti dikejar, KEMATIAN Berharap diri yang hina ini bisa masuk ke Jannah Penguasa Alam

Senin, 12 Mei 2008

Astagfirullah...

Begitulah sifat hawa nafsu, semakin dituruti semakin memburu. Setidaknya hal tersebut terjadi akhir-akhir ini. Ketika sisi manusia yang penuh dengan kelupaan dan kesalahan muncul, jadilah sang manusia menjadi sebuah multiplexer yang memilih antara register kebaikan atau kenistaan. Ketika sang manusia kuat dan bersabar untuk tidak menuruti hawa nafsunya, maka masuklah masukan 1 pada select-nya, sehingga bertahan dan kuatlah sisi kebaikannya. Namun jika sebaliknya, maka masuklah masukan nol pada selectnya, sehingga berujung pada kenistaan dan kehampaan. Sebuah kesenangan semu yang terkadang sering dikejar manusia, namun semakin dikejar, semakin kencang dia berlari, menjauh hingga berujung pada siksaan. Maksiat….

Sahabat, setiap manusia punya kesalahan. Setidaknya itu yang terjadi pada temanmu ini. Terkadang kebodohan dan kelemahan menyelimuti diri, sehingga melupakan kerasnya siksa dan indahnya nikmat bagi orang yang bersabar.

Sahabat, maafkan diri ini karena tidak bisa menjadi muslim yang sepurna, atau bahkan mencapai batas standar. Diri ini masih begitu kotor dan hina. Seandainya Allah yang Maha Melindungi tidak menutupi segala kekurangan yang ada di dalamnya, tentulah temanmu ini tiada lebih dari seonggok bangkai dan rongsokan.

Sahabat, jika kalian bisa meluangkan waktu 7-15 detik dalam doa kalian, tolong sempatkan waktu untuk ikut mendoakan sahabat-sahabatmu yang lain, karena niscaya doa itu akan kembali kepadamu.

Doakan, agar sahabatmu bisa bersabar dalam melalui proses untuk menjadi muslim sejati. Doakan, agar sahabatmu tidak mati dalam kehinaan, karena temanmu ini begitu banyak dan besar dosanya. Doakan agar kita semua bisa bertemu di surga, bercengkrama, dan bercanda, karena temanmu ini sungguh tidak pantas memasukinya.

Sahabat, doa temanmu selalu bersamamu.

Tiada kata yang patas diucap, setelah apa yang telah diperbuat, selain… maaf. Maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan.

Astagfirullah ya Allah… Janganlah engkau condongkan diri ini seperti orang munafik.

Label:

Kamis, 08 Mei 2008

Do you see something around you?

3 Mei 2008
Yogyakarta


Sangat menyenangkan ya, bisa berjalan-jalan di mal atau supermarket yang disana kita bisa mengambil sepuasnya. Dengan ortu disamping kiri-kanan, yang selalu siap sedia dengan kartu kredit atau dompetnya yang penuh sesak dengan uang. Cukup dengan memasang wajah memelas maka kita bisa membeli apa yang kita inginkan, bahkan untuk sebagian orang mungkin tak perlu dengan wajah memelas. Cukup menyodorkan barang yang diinginkan, dan beres deh.


Hari ini baru saja saya pulang dari berbelanja disebuah kompleks pertokaan yang cukup terkenal diJogja. Disana niatnya saya dan ortu ingin membeli sebuah sepatu dan sepatu sandal. Karena menurut ortu saya, sepatu dan sepatu sandal saya sudah cukup memprihatinkan. Ya, jelaslah yah. Biasa untuk mendaki gunung dan melewati lembah, dan memang sudah cukup berumur, maka orang yang melihatnya pun mungkin akan berpendapat yang sama dengan ortu. Tapi ada yang mengganjal saya ketika memilih sepatu dipertokoan. Ortu saya inginnya sih jangan sepatu yang terlalu murah tapi jangan terlalu mahal. Wajarlah, kalo murah takutnya “murahan” dan kalo mahal ga sanggup bayarnya (Ga ding, sebenarnya eman-eman aj kalo duit segitu cuma buat beli sepatu). Saya sepakat saja dengan pendapat mereka, walaupun pada mulanya sebenarnya saya memilih sebuah sepatu yang harganya cukup murah namun dengan model yang cukup bagus, tapi ditolak sama ortu karena harganya terlalu murah (what’s!!). Dan akhirnya terpilihlah sepatu yang harganya menurut ortu standar dan modelnya cukup bagus.


Ketika membeli dan membayar saya merasa ada yang mengganjal pada hati saya. Rasanya, rasa itu seperti naik ketenggorokan dan menekan dada saya sehingga terasa sesak sekali. Saya teringat sebuah film. Ya sebuah film yang menggambarkan kenyataan dunia kita saat ini. Saya teringat akan sebuah cerpen. Ya sebuah cerpen yang berjudul “Renungan diri”1 yang menggambarkan kenyataan dunia kita saat ini. Keadaan dunia yang semakin menunjukan “kebengisannya” yang tanpa ampun dan tanpa belas kasihan pada siapa pun.


Children of heaven” itulah judul film yang membuat dada saya terasa sesak. Sebuah kisah tentang kakak beradik yang berada di keluarga yang sangat miskin. Sampai-sampai ketika sepatu sang adik hilang, maka kakak pun meminjamkan sepatunya padanya. Sehingga ketika waktu sekolah, mereka memakianya bergantian. Mereka merahasiakannya dari orang tua mereka, karena mereka tau bahwa orang tuanya tidak akan sanggup untuk membelikan mereka sepatu. Dan mereka tidak ingin mereka merasa terberatkan untuk berusaha membelikan sepatu untuk anaknya, padahal utang mereka begitu menumpuk. Sehingga dengan sepatu yang compang-camping mereka pergi sekolah. Cerita lengkap dari film ini benar-benar menyentuh dan menggugah. Ada hal yang saya sangat kagumi dari keluarga tersebut. Mereka TIDAK PERNAH MENGELUH. Jangankan mengeluh, mereka bahkan menyembunyikan kesengsaraan mereka dihapan orang banyak. Entah karena malu, tapi yang pasti karena Izah. Izah atau harga diri yang telah banyak hilang di diri banyak orang.


Ya, rasa itu. Rasa tidak enak yang telah meyesakan dada saya. Disini saya bisa membeli sepatu dengan mudahnya, tapi disana! Tidak. Mereka tidak punya pilihan. Hanya sepatu kumal, lusuh, kotor, rusak dan sobek. Bahkan ada yang menggunakan botol plastic bekas menjadi alas kaki, hanya sekadar untuk menguarangi rasa panas yang mendidihkan tumit hingga ke otak. Dan bahkan ada yang tidak menggunakan sama sekali.

Diantara mereka ada yang menyerah lalu menjatuhkan harga dirinya, ada yang gila, bahkan ada yang sampai terenggut nyawa. Tapi ada diantara mereka yang tetap gigih berjuang. Walaupun hanya dengan menggunakan sepeda butut untuk berusaha, mereka tidak mau menyerah pada keadaan. Walaupun keadaan semakin menghimpit dan menggencet tanpa ampun. Mereka tetap berdiri tegak. Seolah berteriak pada nasib, “Hei kau!! Walaupun kau menghimpit dengan kemiskinan dan kesengsaraan, lihatlah aku tetap berdiri tegak!! Dan aku tidak akan kalah dan menyerah, sampai Tuhanku memutuskan antara diriku dan dirimu”. Itulah yang saya dapat dari film “Children of heaven”.


Setelah selesai membeli sepatu dan mampir ke masjid untuk sholat magrib, saya ortu kemudian melanjutkan ke sebuah super market untuk belanja bulanan. Tidak ada yang special dari perjalan belanja ketika itu. Hanya banyak orang berpakaian necis sampai narsis, dan bahkan ada yang berpakaian tidak senonoh dan cenderung norak. Setiap orang disana mengambil barang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ada hanya satu dua, ada yang sampai satu trolley penuh. Sebagian dari mereka mengambil sedikit karena memang kebutuhan mereka hanya itu, namun ada juga yang mengambil sedikit karena memang budgetnya yang cuma segitu. Dan ada juga sebagian dari mereka mengambil banyak karena kebutuhan mereka banyak, namun ada juga yang mengambil banyak karena nafsu berbelanja mereka yang maniak. Ditengah suara riuhnya orang berbelanja dan lampu terang disana-sini, lagi-lagi dada saya terasa sesak. Terasa sesak karena tiba-tiba rasa itu muncul kembali. Bertentang 180O dari apa yang lihat di dalam supermarket, di luar, disudut tempat parkir, saya melihat ada beberapa pemulung yang walaupun langit sudah kelam tetap berusaha mengambil pundi-pundi rezekinya. Dengan mengais-ais sampah supermarket yang mungkin bisa membuahkan sesuap nasi bagi mereka. Diantara mereka ada yang sudah merebahkan dirinya diatas lantai dipinggir ATM. Bertemankan sepeda butut, yang mungkin selalu menemani mereka untuk mengais rezeki di tempat sampah.


Saudaraku, lagi-lagi saya tertohok. Merasa miris melihat begitu banyak kesengsaraan di dunia ini, sedang begitu tidak pedulinya kita. Kita yang melihat, kita yang mampu, dan kita yang lebih beruntung dari mereka. Sahabat-sahabatku yang hidup dalam kesengsaraan, kalian telah mengajarkan diri ini sebuah arti kehidupan. Sebuah arti dari kata BERSYUKUR. Yang mungkin selama ini tidak terlalu saya gubris dari kehidupan saya.


Ya Allah, hidupkanlah rasa kepedulian diri ini dan seluruh hamba-Mu lainnya untuk mampu berempati dan membantu hamba-hamba-Mu yang lain, yang sedang kau uji dan kau tinggikan derajatnya. Kuatkanlah mereka untuk tetap menjaga izah mereka, dari meminta-minta untuk mengumpulkan harta. Dan Ya Allah, sabarkanlah mereka, dan jadikanlah kami hamba-Mu yang bersyukur.


Wahai sahabat-sahabatku, wahai orang-orang yang tertindas oleh zaman, aku berada dipihak kalian.

Wahai manusia yang mempunyai mata, wahai orang-orang yang menginjak-injak manusia lain dengan zamannya, bukalah mata kalian, dan lihatlah! Do you see something around you??



1 Cerpen yang disebutkan di atas, dapat dilihat di blog ini. Di label: you must read it, dengan judul yang hampir sama.

Kisah Dari Negeri Yang Menggigil

By : Abdurahman Faiz
Taken from: Bunga rampai seri 11
untuk adinda: Khaerunisa



Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata
yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil

Belum lama kudengar berita pilu
yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang
mati dikerumuni lalat karena busung lapar

: aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kulihat di televisi
ada anak-anak kecil
memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi

Beliung pun menyerbu
dari berbagai penjuru
menancapi hati
mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri

: sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

: aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya
Ini negeri melimpah, gemerlap
Ini negeri cinta

Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini

Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor
menarik ulur benangnya
sambil bercerita
tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya

Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi

: aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil

Label:

www.flickr.com