Muh_Krisno_te07

Seorang pemuda yang berjalan ditengah padang pasir harapan Berjalan antara masa depan dan masa lalu Berjuang meraih impian, mengembalikan ilmu ke pangkuan ISLAM

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Djoyakarta,, DIY, Indonesia

Seorang pemuda yang berjalan menuju gerbang masa depan Mengarungi samudra kesulitan dan lautan kepenatan Dalam penantian mencari tulang rusuk yang selama hilang Mengarungi samudra kehidupan menuju titik tunggu tak henti dikejar, KEMATIAN Berharap diri yang hina ini bisa masuk ke Jannah Penguasa Alam

Kamis, 08 Mei 2008

Do you see something around you?

3 Mei 2008
Yogyakarta


Sangat menyenangkan ya, bisa berjalan-jalan di mal atau supermarket yang disana kita bisa mengambil sepuasnya. Dengan ortu disamping kiri-kanan, yang selalu siap sedia dengan kartu kredit atau dompetnya yang penuh sesak dengan uang. Cukup dengan memasang wajah memelas maka kita bisa membeli apa yang kita inginkan, bahkan untuk sebagian orang mungkin tak perlu dengan wajah memelas. Cukup menyodorkan barang yang diinginkan, dan beres deh.


Hari ini baru saja saya pulang dari berbelanja disebuah kompleks pertokaan yang cukup terkenal diJogja. Disana niatnya saya dan ortu ingin membeli sebuah sepatu dan sepatu sandal. Karena menurut ortu saya, sepatu dan sepatu sandal saya sudah cukup memprihatinkan. Ya, jelaslah yah. Biasa untuk mendaki gunung dan melewati lembah, dan memang sudah cukup berumur, maka orang yang melihatnya pun mungkin akan berpendapat yang sama dengan ortu. Tapi ada yang mengganjal saya ketika memilih sepatu dipertokoan. Ortu saya inginnya sih jangan sepatu yang terlalu murah tapi jangan terlalu mahal. Wajarlah, kalo murah takutnya “murahan” dan kalo mahal ga sanggup bayarnya (Ga ding, sebenarnya eman-eman aj kalo duit segitu cuma buat beli sepatu). Saya sepakat saja dengan pendapat mereka, walaupun pada mulanya sebenarnya saya memilih sebuah sepatu yang harganya cukup murah namun dengan model yang cukup bagus, tapi ditolak sama ortu karena harganya terlalu murah (what’s!!). Dan akhirnya terpilihlah sepatu yang harganya menurut ortu standar dan modelnya cukup bagus.


Ketika membeli dan membayar saya merasa ada yang mengganjal pada hati saya. Rasanya, rasa itu seperti naik ketenggorokan dan menekan dada saya sehingga terasa sesak sekali. Saya teringat sebuah film. Ya sebuah film yang menggambarkan kenyataan dunia kita saat ini. Saya teringat akan sebuah cerpen. Ya sebuah cerpen yang berjudul “Renungan diri”1 yang menggambarkan kenyataan dunia kita saat ini. Keadaan dunia yang semakin menunjukan “kebengisannya” yang tanpa ampun dan tanpa belas kasihan pada siapa pun.


Children of heaven” itulah judul film yang membuat dada saya terasa sesak. Sebuah kisah tentang kakak beradik yang berada di keluarga yang sangat miskin. Sampai-sampai ketika sepatu sang adik hilang, maka kakak pun meminjamkan sepatunya padanya. Sehingga ketika waktu sekolah, mereka memakianya bergantian. Mereka merahasiakannya dari orang tua mereka, karena mereka tau bahwa orang tuanya tidak akan sanggup untuk membelikan mereka sepatu. Dan mereka tidak ingin mereka merasa terberatkan untuk berusaha membelikan sepatu untuk anaknya, padahal utang mereka begitu menumpuk. Sehingga dengan sepatu yang compang-camping mereka pergi sekolah. Cerita lengkap dari film ini benar-benar menyentuh dan menggugah. Ada hal yang saya sangat kagumi dari keluarga tersebut. Mereka TIDAK PERNAH MENGELUH. Jangankan mengeluh, mereka bahkan menyembunyikan kesengsaraan mereka dihapan orang banyak. Entah karena malu, tapi yang pasti karena Izah. Izah atau harga diri yang telah banyak hilang di diri banyak orang.


Ya, rasa itu. Rasa tidak enak yang telah meyesakan dada saya. Disini saya bisa membeli sepatu dengan mudahnya, tapi disana! Tidak. Mereka tidak punya pilihan. Hanya sepatu kumal, lusuh, kotor, rusak dan sobek. Bahkan ada yang menggunakan botol plastic bekas menjadi alas kaki, hanya sekadar untuk menguarangi rasa panas yang mendidihkan tumit hingga ke otak. Dan bahkan ada yang tidak menggunakan sama sekali.

Diantara mereka ada yang menyerah lalu menjatuhkan harga dirinya, ada yang gila, bahkan ada yang sampai terenggut nyawa. Tapi ada diantara mereka yang tetap gigih berjuang. Walaupun hanya dengan menggunakan sepeda butut untuk berusaha, mereka tidak mau menyerah pada keadaan. Walaupun keadaan semakin menghimpit dan menggencet tanpa ampun. Mereka tetap berdiri tegak. Seolah berteriak pada nasib, “Hei kau!! Walaupun kau menghimpit dengan kemiskinan dan kesengsaraan, lihatlah aku tetap berdiri tegak!! Dan aku tidak akan kalah dan menyerah, sampai Tuhanku memutuskan antara diriku dan dirimu”. Itulah yang saya dapat dari film “Children of heaven”.


Setelah selesai membeli sepatu dan mampir ke masjid untuk sholat magrib, saya ortu kemudian melanjutkan ke sebuah super market untuk belanja bulanan. Tidak ada yang special dari perjalan belanja ketika itu. Hanya banyak orang berpakaian necis sampai narsis, dan bahkan ada yang berpakaian tidak senonoh dan cenderung norak. Setiap orang disana mengambil barang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ada hanya satu dua, ada yang sampai satu trolley penuh. Sebagian dari mereka mengambil sedikit karena memang kebutuhan mereka hanya itu, namun ada juga yang mengambil sedikit karena memang budgetnya yang cuma segitu. Dan ada juga sebagian dari mereka mengambil banyak karena kebutuhan mereka banyak, namun ada juga yang mengambil banyak karena nafsu berbelanja mereka yang maniak. Ditengah suara riuhnya orang berbelanja dan lampu terang disana-sini, lagi-lagi dada saya terasa sesak. Terasa sesak karena tiba-tiba rasa itu muncul kembali. Bertentang 180O dari apa yang lihat di dalam supermarket, di luar, disudut tempat parkir, saya melihat ada beberapa pemulung yang walaupun langit sudah kelam tetap berusaha mengambil pundi-pundi rezekinya. Dengan mengais-ais sampah supermarket yang mungkin bisa membuahkan sesuap nasi bagi mereka. Diantara mereka ada yang sudah merebahkan dirinya diatas lantai dipinggir ATM. Bertemankan sepeda butut, yang mungkin selalu menemani mereka untuk mengais rezeki di tempat sampah.


Saudaraku, lagi-lagi saya tertohok. Merasa miris melihat begitu banyak kesengsaraan di dunia ini, sedang begitu tidak pedulinya kita. Kita yang melihat, kita yang mampu, dan kita yang lebih beruntung dari mereka. Sahabat-sahabatku yang hidup dalam kesengsaraan, kalian telah mengajarkan diri ini sebuah arti kehidupan. Sebuah arti dari kata BERSYUKUR. Yang mungkin selama ini tidak terlalu saya gubris dari kehidupan saya.


Ya Allah, hidupkanlah rasa kepedulian diri ini dan seluruh hamba-Mu lainnya untuk mampu berempati dan membantu hamba-hamba-Mu yang lain, yang sedang kau uji dan kau tinggikan derajatnya. Kuatkanlah mereka untuk tetap menjaga izah mereka, dari meminta-minta untuk mengumpulkan harta. Dan Ya Allah, sabarkanlah mereka, dan jadikanlah kami hamba-Mu yang bersyukur.


Wahai sahabat-sahabatku, wahai orang-orang yang tertindas oleh zaman, aku berada dipihak kalian.

Wahai manusia yang mempunyai mata, wahai orang-orang yang menginjak-injak manusia lain dengan zamannya, bukalah mata kalian, dan lihatlah! Do you see something around you??



1 Cerpen yang disebutkan di atas, dapat dilihat di blog ini. Di label: you must read it, dengan judul yang hampir sama.

3 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum wr wb.
Yup, asyik, 1 lagi yang punya blog. Yuk beramal. Bergeraklah, karena diam itu mematikan! Wassalamu'alaikum

8 Mei 2008 pukul 13.03  
Blogger flyingduck mengatakan...

Good entry. Aku udah lama ngga baca bacaan yang isinya nyuruh kita buat refleksi, so this was refreshing. Setuju, kita emang harus sering2 bersyukur. Alhamdulillah.. =D

-Aisa-

8 Mei 2008 pukul 16.03  
Anonymous Anonim mengatakan...

assalamu'alaikum...

have no word...

juz,, MENYENTUH



teteup istiqomah yhaaa bikin postingan seperti itu...

'ciL mbok diajarin yak besok bikin blogspot.. cz biasanya di wordpress.. pake blogspot bingung..

hehehe...

eia,,
sejak kapan ada tambahan nama???
udah pake bubur merah belum tu??
:D

wassalamu'alaikum

11 Mei 2008 pukul 15.20  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda

www.flickr.com